SIBORONG-BORONG DALAM SEJARAH TAHUN 1800-AN
Siborong-borong pernah menjadi ibukota tanah Batak. Selain Bakkara yang
dikenal sebagai ibukota Dinasti Sisingamangaraja. Hal itu terjadi karena
adanya dua kelompok yang bertikai.
Ada dua kubu yang memerintah
di tanah Batak saat itu. Satu kubu pimpinan Fakih Amiruddin yang
wilayahnya meliputi Rao, tanah Batak selatan sampai Asahan, Padang Lawas
dan sebagian daerah Toba berpusat di Siborong-borong dan kubu lain
yakni saudaranya sendiri Sisingamangaraja X yang menjadi penguasa
tradisional Toba dengan pusat di Bakkara.
Fakih Amiruddin
memerintah dari Siborong-borong lebih kurang pada tahun 1800-an, dalam
konflik dengan kerabatnya pihak Sisingamangaraja X di Toba. Pemerintahan
Fakih Sinambela di Tanah Batak dibagi dalam empat wilayah.
Masing-masing wilayah dipimpin oleh panglima.
Siapakah Fakih Amiruddin (Lontung)?
Dia
putra dari Nai Hapatihan dari suami orang Aceh. Ada yang bilang bahwa
suaminya tersebut adalah putra Ompu Palti Raja di istana
Sisingamangaraja X. Ompu Palti Raja adalah gelar pendeta-raja pada masa
itu yang khusus dipegang marga Lontung, selain Jonggi Manoar untuk marga
Limbong Sagala dan Baligeraja dari toga Sumba. Nai Hapatihan adalah
saudari perempuan Sisingamangaraja X. Diceritakan bahwa putri
Sisingamangaraja X, yang bernama Pinta Omas boru Sinambela ternyata
tertarik dengan Fakih. Bagi Fakih, Pinta Omas merupakan putri dari
saudara ibunya alias Tulang. Putri inilah yang disebut dalam bahasa
Batak sebagai pariban. Ternyata pernikahan mereka tidak disetujui.
Dikabarkan Pinta Omas akhirnya memilih untuk terjun ke Danau Toba.
Dalam
cerita anak-anak yang sering diperdengarkan di bonapasogit adalah bahwa
Pintas Omas merupakan seorang putri yang tidak ingin menikah dengan
lelaki paksaan orang tuanya tapi bertahan dengan pilihannya sendiri. Dia
akhirnya memutuskan untuk bunuh diri demi mempertahankan prinsipnya.
Namun, saat dia meloncat ke danau, yang diikuti oleh seekor anjingnya,
dia ditakdirkan menjadi batu. Batu tersebut bentuknya seperti orang yang
tergantung di dinding tebing. Patung atau batu, yang terdiri dari
seorang putri yang terbalik dan seekor anjing yang tergantung ini
menjadi objek wisata saat ini yang bernama 'legenda batu gantung'.
Saudara
Pintas Omas dari satu ibu, Lambung Sinambela, akhirnya memilih untuk
mengasingkan diri ke luar tanah Batak. Ada yang mengatakan dia di
Tanjung Balai atau Asahan atau Sipirok atau di tempat lain. (Abdul
Rachmi Pasaribu, "Raja Uti: Tokoh Spiritual Batak")
Mengapa
Sisingamangaraja X tidak menyetujui pernikahan Pintas Omas dengan
Paribannya sendiri??? Padahal ini merupakan hal yang wajar di adat
Batak??
Bila kita melihat sejarah Sisingamangaraja I-VIII, dapat
diketahui bahwa dinasti generasi ini tidak pernah mempunyai anak
perempuan yang sangat dinanti-nanti. Legenda mengatakan bahwa hal ini
merupakan kutukan karena Sisingamangaraja I atau Mahkuta alias
Manghuntal pernah menghukum namborunya boru Sinambela dengan injakan
kaki gajah. Sehingga Sisingamangaraja X sangat menyayangi putrinya dan
merasa Fakih bukanlah jodohnya yang pantas. Ketakutan masih ada di benak
Sisingamangaraja X karena keturunan Fakih yang punya ayah dari Lontung
dan ibu yang sakti Nai Hapatihan akan lebih mulia dan lebih berwibawa
dari keturunan Sinambela yang akan mengakibatkan kudeta politik.
Ceritanya
adalah bahwa Manghuntal yang dikenal suka membantu orang, melunasi
utang orang miskin dan membebaskan budak tersebut ditentang oleh
namborunya yang juga bernama Nai Hapatihon. Akhirnya pertikaian terjadi
antara kubu Sisingamangaraja I dengan kubu Namborunya. Kedua pasukan
melakukan peperangan dalam waktu yang lama tanpa pemenang.
Mahkuta
atau Manghuntal dikabarkan meminta pasukan gajah putih dari
pemerintahan Dinasti Uti di Barus. Peperangan pun terjadi dan akhirnya
Nai Hapatihan tewas dalam pertempuran tersebut.
Menurut cerita
orang-orang tua, karena itulah keturunan Sisingamangaraja dikutuk tidak
akan mempunyai anak perempuan. Kutukan tersebut baru berhasil dicabut
oleh Sisingamangaraja IX. Puti Sisingamangaraja IX ternyata juga
mempunyai kesaktian yang juga dinamakan dengan meniru nenek moyangnya,
Nai Hapatihan. Putri Sisingamangaraja XII juga dikenal dengan
keheroikannya yaitu, Lopian Boru Sinambela.
Fakih Amiruddin
akhirnya memilih untuk merantau ke tanah Batak Selatan dan akhirnya
suatu saat kembali dengan ribuan pasukan untuk melakukan kompetisi
kekuasaan dengan Sisingamangaja X dalam perang paderi.
Sebab-sebab perang tersebut adalah banyak. Namun semuanya menyatu menjadi suatu alasan untuk bertikai:
1.
Adanya pihak yang memanas-manasi politik saat itu. Dengan tujuan untuk
mencipkatan kebencian dan permusuhan. Pihak ‘intel’ itu memasuki tanah
Batak dengan baju misi dan lain sebagainya. Namun kejadian tersebut
dapat dibaca oleh orang Batak kemudian hari. Sialnya, semuanya sudah
terlambat. “Orang Batak Toba menganggap timbulnya perang Padri sebagai
akibat rasa sakit hati Burton dan Ward karena ditolak mengembangkan
Kristen. (Sihombing, 1961).”
2. Konstelasi politik lokal dalam perang
Padri dengan tujuan membendung kekuatan Belanda. Sekarang ini diketahui
pahlawan dalam perang ini, secara keseluruhan mulai dari Sumatera Barat
adalah Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai Harahap.
3. Adanya dendam sejarah antara dua kubu Batak, Tatea Bulan yang diwakili marga Siregar dan Sumba yang diwakili Sinambela.
4.
Perselisihan di dalam keluarga Sinambela di Bakkara. Keluarga yang
memimpin tanah Batak dalam dinasti Sisingamangaraja. Antara Fakih
Amiruddin dan Sisingamangaraja X.
5. Tarik-menarik pengaruh antara
Minang di pihak Fakih Amiruddin dan Aceh di pihak yang lain. Seperti
halnya yang terjadi antara persaingan Dinasti Pardosi (Pohan) dari Sumba
yang didukung Aceh sebagai Sultan di Hulu Barus dan Dinasti Pasaribu
dari Tatea Bulan yang dukungan Minang sebagai Sultan di Hilir Barus.
6.
Bila persaingan di Barus berujung kepada penjajahan Belanda atas Barus
setelah kedua kesultanan tersebut diadu domba maka pertempuran ini
berujung dengan masuknya Belanda ke Toba.
Ibukota dan Pusat Pemerintahan Batak: Siborong-borong
Istana
pemerintahan Fakih Amiruddin berpusat di Siborong-borong pada sebuah
gedung yang megah. Setelah kepergian Fakih Amiruddin istana tersebut
menjadi rumah kediaman pegawai Controleur/BB Belanda.
Wilayah
kekuasaan Fakih Amiruddin di Uluan, Porsea diberikan dalam tanggung
jawab Mansur Marpaung. Mansur Marpaung sendiri selain sebagai panglima
pasukan Fakih Amiruddin, juga merupakan putra daerah Porsea. Paska
perang, dia menduduki Asahan dan menjadi Tuanku Asahan. Kantor
pemerintahan Mansur Marpaung sekarang menjadi sebuah mesjid di Porsea.
Di Uluan juga, yang bukan wilayah Mansur, memerintah Alamsyah Dasopang
kantornya berada dalam sebuah rumah yang kini menjadi pasar.
Wilayah
Toba dipimpin oleh Idris Nasution dan kantornya berada di Laguboti yang
kemudian di jaman Belanda menjadi sekolah pertukangan. Panglima lain,
Jagorga Harahap menjadi penaggung jawab daerah Pahae Silindung, dan
kantor pemerintahannya berada di Sigompulon yang pada jaman Belanda
berubah menjadi HIS/Sigompulon. Di wilayah Silindung yang lain
memerintah Raja Gadumbang yang berkantor di Pearaja sebuah tempat yang
menjadi milik Jagorga Harahap dalam bisnis garam dan di zaman Belanda
diambil menjadi kantor pusat HKBP.
Panglima yang lain yakni
Pemasuk Lubis memimpin sebuah sekolah di bawah pemerintahan Fakih
Sinambela di Sipoholon yang sekarang menjadi Sekolah Pendeta HKBP.
Sementara itu pemerintahan Sisingamangaraja X juga mempunyai panglima-panglima di berbagai benteng.
Benteng
Silantom di Humbang dipimpin oleh Soaloon Harianja. Benteng
Simangumban, Pahae dijaga oleh Raja Pandikar Siregar dengan anak buahnya
Amanibinsar Sinambela seorang teman sepermainan di waktu kecil Fakih
Sinambela. Benteng Pangaloan di Pahae dipimpin oleh Raja Gading
Nainggolan. Benteng Tanggabatu di Humbang dipimpin oleh Sisingamangaraja
X sendiri. Benteng Paranginan di Humbang dipimpin oleh Raja Amantaras
Sianturi. Benteng Muara dipimpin oleh Ronggur Simorangkir. Benteng
Bakkara dipimpin oleh Putra Mahkota Amandippu Sinambela. Benteng Tamba
dipimpin oleh Parultop Sinambela.
Rakyat Batak Muslim yang
dianggap sebagai golongan adat juga mendukung kekuasaan Sisingamangaraja
X di berbagai tempat. Salah satu putra terbaik mereka telah menjadi
panglima Sisingamangaraja X di Benteng Salak Dairi yaitu Panglima Syarif
Tanjung, seorang yang menjadi teman dekat Raja. Benteng ini merupakan
sistem pertahanan Sisingamangaraja X untuk mengamankan Salak Dairi
sebagai ibukota kedua pemerintahan Sisingamangaraja X.
Benteng
Tanjungbunga dipimpin oleh Raja Baganding Sagala. Benteng Dolok Sanggul
dipimpin oleh Raja Humirtok Rambe, seorang Raja daerah Tukka dekat Barus
yang sering bertindak sebagai duta besar ke Aceh. Benteng Laguboti
dipimpin oleh Raja Sahala Simatupang.
Upaya diplomasi selalu
dikedepankan oleh Fakih Sinambela untuk mengakhiri perang. Namun usaha
tersebut ditolak oleh Sisingamangaraja X. Fakih Sinambela yang juga
bersaudara dengan pihak Bakkara melakukan upaya persuasif dengan
persembahan hadiah berupa barang-barang dari sutera, termasuk surat
menyurat melalui kurir yang terdiri dari pedagang yang lalu lalang antar
daerah kekuasaan masing-masing.
Sisingamagaraja X mempersiapkan
rencana perang total. Beberapa keluarganya termasuk para putera mahkota
diungsikan ke daerah Uti, daerah Singkel, Aceh yang memang banyak
keluarganya khususnya dari marga Sinambela bermukim dan sudah mejadi
muslim.
Sementara itu surat menyurat terus dilakukan untuk
mencari jalan damai. Surat-surat tersebut ditandai dengan cap
Sisingamangaraja X yang bertuliskan A Ha Ma Ra Ja Sa Ha Ha A Na atau
Ahu Ma Raja Siahaan yang artinya akulah raja yang tertua artinya yang
tertinggi.
Cap atau stempel tersebut dibuat di Aceh dalam
pemerintahan Sultan Alauddin Johar Syah. Pemerintahan Sisingamangaraja X
saat itu merupakan sekutu kesultanan Aceh. Cap tersebut terdiri dari
sembilan lingkaran yang masing-masing berisi tulisan sehingga disebut
Cap Kepala Sembilan.
Sisingamangaraja X, dalam surat balasannya
yang berisi antara lain harapan, doa, kabar keluarga dan permintaan
apabila dia kalah, Fakih Sinambela sudi menjadi Sultan Batak meneruskan
Dinasti Sisingamangaraja. Permintaan terakhir ini setelah usai perang
tidak dikabulkan Fakih Sinambela karena dia memang tidak berniat menjadi
Sultan di tanah Batak.
Setelah Pulas dikumandangkan, Pulas
adalah ultimatum perang tradisional di adat Batak, perang antar dua kubu
akhirnya pecah. Pihak Sisingamangaraja X kalah dalam pertempuran
tersebut.
Dua tahun memerintah di Tanah Batak, Fakih Amiruddin
akhirnya harus meninggalkan pusat pemerintahannya di Siborong-borong dan
meneruskan perjuangan dalam membela tanah air untuk mengusir penjajah
Belanda di Air Bangis. Dalam usaha mempertahankan Air Bangis, Fakih
Amiruddin bergelar Tuanku Rao bersama Panglimanya Amir Hussein
Hutagalung bergelar Tuanku Saman gugur sebagai syahid.
Dikatakan
bahwa keluarga Sisingamangaraja dan Fakih Amiruddin sampai sekarang
masih terdapat di Sipirok diantaranya Lambung Sinambela dan Hombar
Sinambela yang menjado nenek moyang marga Sinambela yang sudah Islam di
Sipirok.
Sementara itu di Rao, istri Fakih Amiruddin, Zaharah
Daudi, mempunyai tiga orang anak yang bernama Muhammad Abdullah
Amiruddin, Muhammad Dahlan Amiruddin dan Muhammad Zain Amiruddin.
Sepeninggalan Fakih Sinambela mereka pindah dan bermukim di Pariaman. Di
sana mereka tinggal karena terdapat saudara Zaharah yakni Barkat Ali
Daudi yang berprofesi sebagai pedagang yang sudah settled dengan baik.
Informasi tersebut didapatkan Sutan Martua Raja, seorang sejarawan
Batak, dari Mangaraja Soangkupon yang pernah menjadi anggota parlemen
kolonial Belanda di Indonesia, Volksraad dan dari Bagindo Dahlan
Abdullah, mantan anggota Gementeraad di Batavia. Diyakini keberadaan
keturunan Fakih Amiruddin di Pariaman sekarang ini sudah tidak dapat
dikenali karena mereka jarang mencantumkan marga di belakang nama,
walaupun mereka berdarah biru kerajaan Batak, Sisingamangaraja.
Para
panglima Fakih Amiruddin berhasil menjadi Raja di berbagai tempat. Di
antaranya Mansur Marpaung, putra Porsea, menjadi Tuanku Asahan yang
memerintah di Kesultanan Asahan. Zulkarnain Aritonang menjadi raja di
kerajaan Merbau dan Alamsyah Dasopang menjadi raja di Kesultanan
Kotapinang, semuanya masih memerintah sampai tahun 1940-an.
Pemasuk
Lubis alias Tuanku Maga, panglimanya yang lain, meninggal dunia di
Silindung pada tahun 1820. Dia disholatkan oleh marga Hutagalung di
kampung Hutagalung, Silindung, dipimpin oleh Imam setempat, Kulipah
Abdul Karim Hutagalung.